Bandar Poker Terpercaya - Masa kepemimpinan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai
rezim transisi. Habibie menjadi Presiden ke-3 RI setelah Soeharto, yang
telah 32 tahun berkuasa, menyatakan mundur pada 21 Mei 1998. Salah
satu tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi.
Saat itu Habibie dihadapkan pada situasi yang sangat sulit, inflasi
tinggi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar membumbung tinggi. Era
1998, Indonesia dihantam badai krisis moneter (krismon) hebat yang
terjadi di regional Asia.
Situasi politik domestik yang panas
menambah masalah kala itu. Risikonya, banyak investor yang angkat kaki,
nilai rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dolar
untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1998/1999 yang diumumkan
6 Januari 1998. RAPBN dinilai tak realistis. Krisis yang
menandakan kerapuhan fundamental ekonomi tersebut dengan cepat merambah
ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar
uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional mendadak terlilit
kesulitan besar.
Peringkat internasional bank-bank besar tersebut
memburuk, tak terkecuali surat utang pemerintah, peringkatnya ikut
lengser ke level di bawah "junk" atau menjadi sampah. Alhasil,
tingkat kepercayaan nasabah kepada bank-bank menurun, yang
mengakibatkan terjadinya aksi penarikan uang secara massal dari bank
tempat mereka menyimpan. Aksi ini dikenal dengan istilah rush money atau bank run. Habibie
yang memiliki latar belakang insinyur penerbangan, melihat Indonesia
menggunakan kacamata ilmu aeronautika. Ia mengibaratkan perekonomian
Indonesia adalah pesawat dengan posisi stall atau posisi di mana
pesawat kehilangan daya angkat akibat bagian depan pesawat mengarah ke
atas dengan sudut lebih dari 15 derajat.
Ia berprinsip, hal yang
paling penting dalam menerbangkan pesawat yang kehilangan daya angkat
adalah dengan menyeimbangkan gaya gravitasi. Dalam pengelolaan ekonomi,
ia memprioritaskan upaya agar rupiah bisa stabil terlebih dahulu. Tidak
lama setelah dilantik, Habibie menerbitkan kebijakan keuangan serta
moneter dan membawa perekonomian Indonesia ke masa kebangkitan.
Pemerintahan Habibie menelurkan paket restrukturisasi untuk membangun
kembali perbankan yang sehat pada 21 Agustus 1998 cukup efektif.
Untuk
menekan gejolak rupiah ia melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi
perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional)
dan unit Pengelola Aset Negara. Lalu Habibie melikuidasi beberapa bank
yang bermasalah. Lewat kebijakan ini, beberapa bank di-merger
untuk menjadi bank baru yang kuat dari sisi pendanaan, salah satu
hasilnya adalah Bank Mandiri. Selain itu, Habibie juga harus mengikuti
sejumlah langkah reformasi ekonomi yang disyaratkan Dana Moneter
Internasional (IMF) melalui Structural Adjustment Program (SAP). Hasilnya,
Habibie mampu membawa Indonesia lepas dari pertumbuhan ekonomi minus
13,13 persen pada 1998 menjadi positif 0,79 persen pada 1999. Kurs
rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp16.800 per dolar Amerika Serikat
(AS) pada Juni 1998 menjadi Rp6.500 per dolar AS pada November 1998.
Pada
masa Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari
jajaran eksekutif, hal ini diatur dalam Undang-Undang (UU) No.23 tahun
1999 tentang Bank Indonesia. Dengan pemisahan itu, BI menjelma
menjadi lembaga independen dan mendapatkan lagi kepercayaan. Kebijakan
Habibie memisahkan BI dari pemerintah sangat sederhana yakni agar BI
tidak lagi diperintah atau ditekan oleh penguasa seperti masa Orde Baru. Berkat
kebijakan tersebut, kini BI memiliki fungsi intervensi untuk
menstabilkan nilai tukar rupiah setiap terjadi gejolak di pasar
keuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar