Bandar Poker Terpercaya - Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla
(kanan) memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta,
Senin (12/8/2019). Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengungkapkan
sikap tak setuju terhadap wacana pemilihan presiden oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Jokowi pun menegaskan bahwa wacana
amandemen kelima UUD 1945 tak akan sampai mengubah sistem pemilu
langsung yang berlaku saat ini. "Saya ini kan presiden
pilihan rakyat, masak menyetujui presiden dipilih MPR," kata Jokowi di
sela makan siang bersama para pemimpin redaksi media nasional di Istana
Merdeka, Jakarta.
Amandemen UUD 1945 sudah
diwacanakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai
pemenang Pemilu 2019. PDIP ingin menggunakan momen amandemen untuk
menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan menjadi MPR
sebagai lembaga tertinggi negara. Artinya, MPR bisa punya
kewenangan memilih presiden dan wakil presiden seperti pernah terjadi
pada masa Orde Baru. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud
MD, Jokowi dan para pemimpin MPR saat ini sudah setuju untuk membahas
dua isu dalam amandemen UUD 1945; menghidupkan lagi GBHN dan status MPR.
"Soal
pemilihan presiden, masa jabatan presiden, kedudukan DPD yang ingin
ditingkatkan, Komisi Yudisial yang tidak efektif, itu tidak akan
diutik-utik. Jadi hanya 2 itu," ujar Mahfud. Namun,
Jokowi menegaskan tak akan ada perubahan sistem pemilu. Sistem
pemilihan langsung yang diterapkan sejak 2004 dinilai Jokowi sudah
tepat. "…jadi kenapa harus kembali ke sistem yang lama," tutur Jokowi. Di
sisi lain, Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, menyatakan perlunya
dialog seluruh pemimpin partai politik dan menyepakati pembahasan
amandemen tak melebar. Hasto pun menegaskan bahwa sistem presidensial
harus tetap dijaga.
"Amandemen terbatas hanya terkait dengan
haluan negara dan tetap dalam bingkai memperkuat sistem presidensial,
yaitu presiden dan wakil presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat,
serta presiden dan/atau wakil memiliki masa jabatan yang pasti dan tidak
dapat dijatuhkan atas dasar kepercayaan politik," papar Hasto, Selasa
(13/8). Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf "JK" Kalla pun menolak
kembali ke mekanisme perwakilan MPR. "Nanti banyak perubahan yang rakyat
juga belum tentu setuju. Contohnya presiden dipilih MPR lagi karena
lembaga tertinggi. Kalau begitu lain soal lagi. Apa rakyat setuju
diambil lagi haknya untuk memilih langsung?" kata JK.
Wacana mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara disuarakan
oleh PDIP di sela-sela Kongres V di Sanur, Bali, pekan lalu. Bahkan
wacana itu langsung memicu lobi politik, termasuk wacana memperebutkan
kursi Ketua MPR. Sejak itu, wacana ini mengalir. Ketua DPR
Bambang Soesatyo pun mengusulkan presiden sebaiknya dipilih tidak
langsung atau oleh MPR seperti pada Pemilu 1999. Politisi Golkar ini
menyebut penilaian publik terhadap pemilu langsung yang penuh keruwetan. "Ini
pertanyaan publik. Kalau begini keruwetannya dan mahalnya begini kenapa
enggak dikembalikan ke MPR saja," katanya, Sabtu (10/8).
Namun,
Wakil Sekjen Golkar Bobby Adhityo Rizaldi justru menilai wacana untuk
mengembalikan MPR ke status lembaga tertinggi negara perlu dikaji ulang.
Pasalnya, bila itu terjadi akan membawa bangsa ini mundur ke masa Orde
Baru. "Bila dikembalikan menjadi lembaga tertinggi, artinya
kembali ke masa sebelum era reformasi. Inilah yang perlu dikaji dengan
saksama," tuturnya. Sementara
kubu PDIP pun berusaha mengklarifikasi. Wakil Ketua MPR dari Fraksi
PDIP Ahmad Basarah menegaskan wacana ini tidak murni dari partainya.
Menurut Ahmad, PDIP hanya meneruskan rencana yang sudah ada. "Kongres
PDI-P yang merekomendasikan MPR melanjutkan rencana amandemen terbatas
UUD 1945 untuk menghadirkan GBHN hanyalah meneruskan rencana yang sudah
disepakati pimpinan-pimpinan fraksi di MPR RI dan DPD RI," kata Basarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar