Jumat, 16 Agustus 2019

Jokowi tak setuju presiden dipilih MPR


Bandar Poker Terpercaya - Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan) memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (12/8/2019). Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengungkapkan sikap tak setuju terhadap wacana pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Jokowi pun menegaskan bahwa wacana amandemen kelima UUD 1945 tak akan sampai mengubah sistem pemilu langsung yang berlaku saat ini. "Saya ini kan presiden pilihan rakyat, masak menyetujui presiden dipilih MPR," kata Jokowi di sela makan siang bersama para pemimpin redaksi media nasional di Istana Merdeka, Jakarta.

Amandemen UUD 1945 sudah diwacanakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang Pemilu 2019. PDIP ingin menggunakan momen amandemen untuk menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan menjadi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Artinya, MPR bisa punya kewenangan memilih presiden dan wakil presiden seperti pernah terjadi pada masa Orde Baru. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, Jokowi dan para pemimpin MPR saat ini sudah setuju untuk membahas dua isu dalam amandemen UUD 1945; menghidupkan lagi GBHN dan status MPR.

"Soal pemilihan presiden, masa jabatan presiden, kedudukan DPD yang ingin ditingkatkan, Komisi Yudisial yang tidak efektif, itu tidak akan diutik-utik. Jadi hanya 2 itu," ujar Mahfud. Namun, Jokowi menegaskan tak akan ada perubahan sistem pemilu. Sistem pemilihan langsung yang diterapkan sejak 2004 dinilai Jokowi sudah tepat. "…jadi kenapa harus kembali ke sistem yang lama," tutur Jokowi. Di sisi lain, Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, menyatakan perlunya dialog seluruh pemimpin partai politik dan menyepakati pembahasan amandemen tak melebar. Hasto pun menegaskan bahwa sistem presidensial harus tetap dijaga.

"Amandemen terbatas hanya terkait dengan haluan negara dan tetap dalam bingkai memperkuat sistem presidensial, yaitu presiden dan wakil presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat, serta presiden dan/atau wakil memiliki masa jabatan yang pasti dan tidak dapat dijatuhkan atas dasar kepercayaan politik," papar Hasto, Selasa (13/8). Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf "JK" Kalla pun menolak kembali ke mekanisme perwakilan MPR. "Nanti banyak perubahan yang rakyat juga belum tentu setuju. Contohnya presiden dipilih MPR lagi karena lembaga tertinggi. Kalau begitu lain soal lagi. Apa rakyat setuju diambil lagi haknya untuk memilih langsung?" kata JK.

Wacana mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara disuarakan oleh PDIP di sela-sela Kongres V di Sanur, Bali, pekan lalu. Bahkan wacana itu langsung memicu lobi politik, termasuk wacana memperebutkan kursi Ketua MPR. Sejak itu, wacana ini mengalir. Ketua DPR Bambang Soesatyo pun mengusulkan presiden sebaiknya dipilih tidak langsung atau oleh MPR seperti pada Pemilu 1999. Politisi Golkar ini menyebut penilaian publik terhadap pemilu langsung yang penuh keruwetan. "Ini pertanyaan publik. Kalau begini keruwetannya dan mahalnya begini kenapa enggak dikembalikan ke MPR saja," katanya, Sabtu (10/8).

Namun, Wakil Sekjen Golkar Bobby Adhityo Rizaldi justru menilai wacana untuk mengembalikan MPR ke status lembaga tertinggi negara perlu dikaji ulang. Pasalnya, bila itu terjadi akan membawa bangsa ini mundur ke masa Orde Baru. "Bila dikembalikan menjadi lembaga tertinggi, artinya kembali ke masa sebelum era reformasi. Inilah yang perlu dikaji dengan saksama," tuturnya. Sementara kubu PDIP pun berusaha mengklarifikasi. Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah menegaskan wacana ini tidak murni dari partainya. Menurut Ahmad, PDIP hanya meneruskan rencana yang sudah ada. "Kongres PDI-P yang merekomendasikan MPR melanjutkan rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan GBHN hanyalah meneruskan rencana yang sudah disepakati pimpinan-pimpinan fraksi di MPR RI dan DPD RI," kata Basarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar